dollar-re.jpgPria lugu lulusan SLTA itu bernama Lihan. Sebuah nama yang simpel, pas dengan tampang orangnya yang juga simple, lugu dan acap berbicara dengan lugas. Saya mengenalnya pertama kali dari sejumlah berita di dunia maya. Pria asal Banjarmasin ini digambarkan sebagai sudagar muda yang sukses dengan aset ratusan milyar rupiah. Sejak awal saya sudah merasa ada yang kurang pas dengan kronologi kisahnya. Ada banyak missing link disitu.

Mendadak beberapa waktu lalu ada berita, Polda Banjarmasin telah menangkap anak muda bernama Lihan ini dengan dugaan penggelapan dana melalui praktek illegal banking. Jumlah uang yang digelapkan ndak main-main, lebih dari 820 milar (!), dan melibatkan ribuan nasabah. Disini episode klasik itu berulang : para nasabah menangis merau-raung dalam kepiluan, tak tahu apakah uang simpanannya masih bisa diselamatkan atau lenyap tak berbekas.

Ada tiga catatan ringkas yang mungkin bisa kita petik dari tragedi finansial yang seperti nyaris berulang itu. Yang pertama : cara yang relatif mudah dan cepat untuk menangguk uang dalam jumlah yang fantastik adalah melalui praktek bank gelap; yang kemudian dibungkus dengan skema yang dikenal dengan nama Skema Ponzi (dinamakan Ponzi, karena skema “cerdas” ini pertama kali dipraktekkan oleh Michael Ponzi pada tahun 1920 di Boston, Amerika).
Praktek skema Ponzi biasanya berjalan seperti berikut : buka tawaran investasi dengan imbalan bunga yang menakjubkan (misal 10 persen per bulan atau 120 % per tahun!). Tawaran menggiurkan itu pasti akan dibanjiri nasabah. Lalu gunakan uang simpanan nasabah yang belakangan masuk sebagai imbal bunga kepada nasabah yang datang lebih dulu. Begitu seterusnya. Nasabah gelombang pertama, yang benar-benar menikmati imbal bunga-nya, biasanya akan dijadikan alat promosi untuk makin banyak menarik investor atau nasabah baru.

Skema seperti diatas akan bisa terus berjalan sepanjang ada aliran dana segar dari para nasabah baru. Namun begitu aliran dana mulai seret, maka saat itulah sang aktor harus siap-siap ambil langkah seribu sambil membawa uang simpanan nasabah yang jumlahnya bisa miliaran. Dan saat itulah ribuan nasabah hanya bisa tertegun, menyaksikan uang simpanannya lebur seperti buih fatamorgana.

Catatan yang kedua : kisah klasik semacam diatas sejatinya telah berulang kali di negeri ini. Dulu ada yang berkedok investasi agroindustri, ada yang berkedok mata uang asing, dan lain-lainnya. Namun selalu janji investasi semacam itu adalah “nyanyian indah yang penuh ilusi”.

Sayang memang, banyak anggota masyarakat kita yang mudah tergiur dengan janji yang kedengarannya amat merdu itu. Mungkin sebagian lantaran begitu terpikat dengan “beragam dokumen yang kelihatannya otentik”, atau dulu, tertipu dengan lahan perkebunan hijau yang kelihatannya memang menjanjikan. Atau mungkin sebab sederhana lainnya : ingin menggapai lampu Aladin yang bisa menyulap uang simpanannya dalam sekejap menjadi berlipat. Doh !

Karena itu, jika ada diantara rekan, kerabat dan handi taulan Anda yang sibuk menanamkan uangnya dalam “investasi yang menjanjikan dan blah-blah lainnya”, maka ingatkan untuk segera menarik simpanannya. Jangan biarkan sanak atau kerabat kita terkaing-kaing lantaran uang tabungan (atau uang pensiunannya!) mendadak ambles ditelan bumi.

Catatan yang terakhir : beragam fenomena penggelapan uang ini mengindikasikan bahwa potensi simpanan uang masyarakat kita sejatinya cukup besar. Pada sisi lain, banyak orang yang punya gagasan usaha yang prospektif dan brilian namun kekurangan modal. Nah kenapa kedua belah pihak itu tidak dijodohkan saja. Persis disinilah muncul kebutuhan untuk membangun usaha modal venture (venture capital) yang tangguh.

Usaha modal ventura (venture capital) pada dasarnya memang sebuah lembaga yang mempertemukan calon investor dengan calon entreprenur yang memiliki ide usaha prospektif. Bicara mengenai venture capital, kita mengenal surganya disebuah lokasi legendaris bernama Sillicon Valley, California. Berkat lembaga ventura yang kredibel di Sillicon Valley, lahirlah perusahaan-perusahaan yang kelak kita kenal dengan nama Intel, Google, Facebook, dan sederet nama besar lainnya.

Sungguh kita punya mimpi suatu saat di tanah air bisa juga muncul lembaga-lembaga venture capital seperti di Sillicon Valley itu. Melalui tangan dingin mereka, kita berharap potensi dana masyarakat bisa disandingkan dengan gagasan usaha yang prospektif nan brilian. Dari proses inilah akan lahir sebuah kegiatan economic value added yang amat berguna.

Dan dari proses ini pula, siapa tahu kelak akan lahir Facebook van Cimahi, Google from Pematang Siantar atau dari Microsoft from Bali.